Friday, 6 February 2015

Hasil Ijtihad Merayakan Valentine's Day bagi Umat Islam


Makalah fiqih tentang hasil ijtihad merayakan Valentine’s Day  (Hari Valentine) bagi umat islam

 

















MAN LAMONGAN
2014




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belalang Masalah
      Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
      Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

1.2  Identifikasi Masalah
Hubungan Ijtihad dengan ilmu fiqih sangat erat karena dengan ilmu fiqih dapat mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbat).

1.3  Pembatasan Masaalah
Dari latar belakang masalah di atas, agar pembahasan tidak meluas maka penulis akan membahas hasil ijtihad tentang Hari Valentine.

1.4  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas maka dapat di rumuskan beberapa masalah di antaranya ialah bagaimana pendapat para ulama’ tentang hari valentine, dan hukum orang islam merayakan hari valentine.













BAB II
PEMBAHASAN
1.    SEJARAH VALENTINE.
            Menurut data dari Ensiklopedi Katolik, nama Valentinus diduga bisa merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda.
Hubungan antara ketiga martir ini dengan hari raya kasih sayang (valentine) tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.

            Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti dari emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada tahun 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine (14 Februari), di mana peti dari emas diarak dalam sebuah prosesi dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu dilakukan sebuah misa yang khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

            Hari raya Valentine Days ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santo yang asal-muasalnya tidak jelas, meragukan dan hanya berbasis pada legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki (daerah (kawasan) penggembalaan umat Katolik yg dikepalai oleh pastor atau imam) tertentu.

2.                  HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE DALAM ISLAM
            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam, artinya, ” Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut” (HR.At-Tirmidzi) .

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, ” Memberikan ucapan selamat terhadap acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut HARAM “.

Mengapa ? karena berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wata’ala. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah subhanahu wata’ala dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.





            Syaikh Muhammad al-Utsaimin ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan, ” Merayakan Hari Valentine itu tidak boleh ”, karena alasan berikut :
Pertama : Ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.
Kedua : Ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) semoga Allah meridhai mereka.
3.                  DASAR DILARANG MERAYAKAN VALENTINE’S DAY BAGI UMAT ISLAM

1.                   Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

                        Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)
Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR.                     Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269).
Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

2.                   Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

            Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)
            Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.
Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

BAB III
KESIMPULAN
            Seorang muslim dilarang untuk meniru-niru kebiasan orang-orang di luar Islam, apalagi jika yang ditiru adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan, pemikiran dan adat kebiasaanmereka.
Bahwa mengucapkan selamat terhadap acara kekufuran adalah lebih besar dosanya dari pada mengucapkan selamat kepada kemaksiatan seperti meminum minuman keras dan sebagainya.
Haram hukumnya umat Islam ikut merayakan Hari Raya orang-orang di luar Islam.
Valentine’s Day adalah Hari Raya di luar Islam untuk memperingati pendeta St. Valentin yang dihukum mati karena menentang Kaisar yang melarang pernikahan di kalangan pemuda. Oleh karena itu tidak boleh ummat Islam memperingati hari Valentine’s tersebut.

0 comments:

Post a Comment